[Teaser] For A While This FF is Untitled

Title                : –

Author            : Chocola

Genre              : Fantasy, Romance, AU

Ratings           : PG- 15

Length            : Series

Cast                 : 1. Lee Hyuk Jae as Spencer Barnett

                          2. Park Sangra as Elizabeth Aster

                          3. Cho Kyuhyun as A. V Marcus

                          4. Choi Hyesun as Rachelle Rosenfelt

                         

Sub cast          : 1. Shindong as Matthew

                         2. Lee Ryeona as Elenna

                         3. Kai EXO as Ian

 

***

BRITAIN, 740 AD

 

Musim semi di kota London yang penuh hingar-bingar berbanding terbalik dengan sebuah desa kecil di pinggiran London yang amat sunyi dan damai. Houndswoth village, desa yang masih sangat alami dengan aliran sungai jernih, area persawahan juga padang bunga Azelia yang membuat Houndswoth semarak di tiap musim semi. Houndswotrh bukan desa yang dipadati oleh banyak penduduk, mungkin hanya ada sekitar dua puluh kepala keluarga di sana tetapi Houndsworth tidak pernah terasa sepi karena penduduk Houndsworth sangat ramah dan memiliki kepedulian tinggi satu sama lainnya.

Lord Spencer!” seorang gadis berumur sepuluh tahunan dengan pakaian lusuh menjuntai sebatas lutut berlarian di sekitar halaman Mansion keluarga Barnett yang dipenuhi bunga Azelia, Mansion keluarga Barnett merupakan yang termegah diantara penduduk desa lainnya. Padang bunga Azelia mereka juga merupakan yang terluas, kekayaan mereka merupakan salah satu faktor keluarga ini sangat disegani. Disamping tugas yang keluarga ini emban secara turun-temurun.

“Lizzy!” seru Spencer yang tengah bersantai menikmati waktu siangnya untuk berjemur ditemani beberapa orang pelayan yang siap melayani semua kebutuhannya. Lizzy, panggilan yang orang-orang berikan pada gadis sepuluh tahun bernama asli Elizabeth itu. Elizabeth kehilangan orang tuanya karena tragedi ‘berdarah’ beberapa tahun lalu, keluarga Spencer mengangkat Lizzy sebagai pelayan. Namun Spencer sangat menyayangi Lizzy, ia menganggap Lizzy sebagai adiknya.

Lord Spencer, Lord Matthew memberi perintah kepada hamba untuk membawa anda ke balai pertemuan…” kata Lizzy tersengal-sengal, gadis itu tidak suka berlari tapi saat ini dia tidak punya pilihan lain.

“Pak tua bertubuh besar seperti beruang itu? huh…katakan aku sibuk!” Spencer tersenyum pahit, dia memang tidak pernah menyukai tetua desa mereka, terutama Lord Matthew yang dinilainya terlalu aneh untuk seorang tetua desa.

Lord…Spencer…” kali ini suara Lizzy sedikit bergetar, beberapa saat kemudian gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan untuk membendung tangisnya yang mendadak pecah.

“Lizzy!” Spencer tersentak oleh Lizzy yang tiba-tiba saja menangis, dia bangkit dari kursi malasnya lalu berjalan perlahan mendekati Lizzy. Spencer meraih bahu gadis kecil itu lalu memeluknya. Ia melingkarkan tangannya erat, entah kenapa dia merasa hatinya teriris tiap kali melihat Lizzy menangis. “Ada apa? kenapa menangis?” tanya Spencer lembut. Tapi bukannya berhenti tangisan Lizzy malah semakin menjadi.

***

Spencer melangkahkan kakinya menuju balai pertemuan yang ada di tengah Houndsworth, Lizzy mengikutinya dari belakang sambil sesekali mengusap air matanya yang kadang jatuh. Matanya sekarang menjadi bengkak dan merah. Spencer menghela napasnya pelan sebelum kakinya benar-benar menginjak tangga batu yang ada di depan balai pertemuan. Hari ini benar-benar seperti mimpi buruk yang selama ini selalu ia takutkan, bukan berarti dia tidak pernah menduga bahwa semua ini akan terjadi. Semua orang di keluarganya pasti pernah menghadapi situasi macam ini, tidak mustahil lebih buruk dari pada dirinya, setidaknya yang berbeda adalah Spencer telah menyiapkan mental untuk menghadapi situai semacam ini. Dia siap menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini.

Pintu dari kayu ek itu berderik saat Spencer membukanya, bagian dalam rumah berbahan utama batu itu kosong. Hanya ada beberapa orang tetua desa yang nampak beradu argumen ditemani temaram lilin-lilin yang ditempel di tembok, tak ada meja. Mereka berdiri, tengah mengelilingi sesuatu.

Lord Spencer…” seru Lord Matthew, seorang pria keriput berjanggut putih dan bertubuh tambun saat menyadari Spencer kecil masuk, hal itu sontak membuat adu argumen para tetua desa terhenti.

“Aku sudah mendengarnya dari Lizzy.” Spencer memberi isyarat pada mereka agar mereka tak usah mengungkit lagi masalah itu. Ia tidak ingin pertahanannya runtuh, meski ia seorang laki-laki tapi ia yakin dia akan menangis jika kabar itu dia dengar sekali lagi.

“Aku turut menyesal, kami semua berduka…” Lord Matthew tidak meneruskan kata-katanya lagi, dia hampir lupa bahwa Spencer tidak ingin mendengar hal ini lebih jauh. Spencer anak yang berbeda dari anak yang lainnya, setidaknya ia percaya itu sebelum hari ini. Sebelum semua ini terjadi, yang ia lihat saat ini adalah Spencer yang merupakan anak kecil biasa yang terlihat sama seperti anak kecil lainnya ketika mengetahui kenyataan bahwa kedua orang tuanya baru saja meninggal dunia.

Para tetua desa menyingkir dari jalan Spencer, membiarkan anak itu untuk mendekat ke arah dua peti mati yang sedari tadi mereka kerubungi. Dua orang tetua dengan inisiatif membuka tutup peti mati itu, membuat Spencer dapat melihat mayat kedua orang tuanya dengan jelas. Mr dan Mrs. Barnett nampak begitu kaku dan pucat.

“Ini ulah mereka.” ujar Lord Matthew lirih saat Spencer berada dekat dengannya. Spencer hanya mengangguk seraya terus berjalan mendekat ke arah peti kedua orang tuanya.

Spencer berdiri di samping peti mati ibunya, meraih pipi ibunya lalu membelainya lembut. Tidak akan ada dongeng sebelum tidur lagi.

Setelah puas memandangi sosok ibunya, Spencer mendaratkan sebuah ciuman perpisahan di bibir ibunya yang kaku. Selamat tinggal ibu.

Spencer beralih pada peti mati ayahnya, berbeda dengan peti mati ibunya yang bisa dibilang mungil. Peti mati ayahnya jauh lebih besar, Spencer merasakan perih di ulu hatinya saat melihat bagaimana keadaan ayahnya sekarang. Tubuhnya penuh dengan bekas-bekas makhluk kegelapan itu. Bekas taring-taring mereka yang tajam nampak mendominasi luka ditubuh ayahnya, bukan luka fatal memang. Penyebab kematian ayahnya bukanlah gigitan makhluk-makhluk itu namun tusukan telak kearah jantungnya, yang otomatis membuat kehidupannya terhenti seketika. Spencer hanya memandangi ayahnya dari tepi peti mati, menundukkan kepalanya. Tidak ada lagi orang yang akan mengajariku bagaimana seorang laki-laki seharusnya bersikap, ayah….

Semua orang hanya bisa membisu, mereka ikut larut dalam duka yang Spencer rasakan. Kehilangan orang tua di usia sedini ini pasti tidak mudah, masih banyak hal-hal bahagia yang harusnya Spencer dapatkan dari kedua orang tuanya. Kematian menjemput orang tuanya terlalu cepat.

Di sudut ruangan yang termakan bayangan temaram lilin-lilin yang menempel di dinding Lizzy merapatkan tubuh mungilnya ke dinding yang dingin, pikirnya cukup dia saja yang merasakan kehilangan orang tuanya. Dia tidak ingin Spencer merasakan hal yang sama seperti yang Lizzy rasakan, tapi takdir berkata lain. Mereka sama-sama harus kehilangan orang tua di usia muda. Kehilangan orang tua itu berarti banyak, bukan hanya mereka kehilangan kehangatan keluarga saja. Melainkan mereka juga kehilangan tumpuan hidup mereka, Lizzy yang paling tahu bagaimana kekejaman dunia yang sesungguhnya sejak orang tuanya meninggal. Hidupnya menjadi tidak berharga, yang biasanya dia menghabiskan sepanjang hari dengan bermain. Sekarang dia harus mengerjakan pekerjaan kasar demi makanan, dia beruntung dia tidak harus meminta-minta di pasar lagi demi santap malamnya. Karena kebanyakan hanyalah sisa-sisa makanan dari piring para bangsawan yang seharusnya berada di tempat sampah. Terdengar hina memang, tapi itulah realita kehidupnya.

Hidupnya sebagai pelayan di keluarga Spencer memang lebih baik namun bukan berarti dia bahagia, hidup sebagai pelayan tidak pernah terlintas di benaknya. Dunianya hancur seketika, itu kenyataan pahit yang terpatri jauh dalam hatinya.

Di luar ruangan itu awan gelap berarak membawa wangi tanah yang khas, sebentar lagi akan turun hujan. Langit akan melepas kepergian pasangan Barnett dengan butir-butir air matanya.

***

Dua pusara putih menjadi pusat perhatian semua orang yang saat ini tengah berkumpul di kompleks pemakaman Houndsworth, tiap orang maju bergantian meletakkan bunga Azelia yang mereka tanam di halaman rumah masing-masing untuk moment seperti ini. Bunga Azelia merupakan simbol cinta yang bahagia, mereka berharap pasangan Barnett dapat memperoleh kebahagiaan di dunia mereka yang baru.

Spencer nampak berada di barisan paling depan dengan jubah berwarna hitam menyelimuti hampir seluruh tubuhnya, jubah yang ia kenakan memiliki tudung yang menutup sebagian wajahnya. Para tetua desa berdiri di belakangnya membentuk sederet barisan putih dari jubah yang mereka kenakan.

Tidak ada ungkapan bela sungkawa apapun, semua berlangsung dalam kebisuan. Hanya terdengar suara angin yang menggesek dedaunan di pohon, setelah itu suasana sunyi kembali. Bunga Azelia berwarna putih tersusun rapi di kedua pusara, lalu secara perlahan warga desa berangsur meninggalkan kompleks pemakaman, meninggalkan Spencer yang hanya di temani tetua desa. Lizzy ada dirumah, Spencer sengaja tak membiarkannya ikut karena Lizzy tidak bisa berhenti menangis.

Lord Spencer.” Lord Matthew maju dari barisannya, meletakkan satu tangan di pundak Spencer kecil yang menunduk, menyembunyikan tetesan air matanya sejak tadi. Ia tak mau siapapun bisa melihat air matanya, air mata satu-satunya keluarga Barnett yang tersisa.

“Ya?” jawab Spencer singkat, menghapus air mata yang tersisa disudut matanya.

“Kita harus memulainya sekarang, secepatnya.” ujar Lord Matthew. Spencer hanya mengangguk, dia tahu sekarang dia yang harus mengambil alih tanggung jawab yang selalu diemban oleh keluarganya. Melindungi Houndsworth.

“Seberapa cepat?” tanya Spencer kemudian, sejujurnya saat ini dia masih ingin berada di pusara kedua orang tuanya.

“Sekarang!”

“Bisakah kalian memberiku waktu beberapa menit lagi, aku janji setelah itu aku akan ikut dengan kalian.”

Tiba-tiba saja para tetua desa mulai berdebat, beberapa diantara mereka ada yang mendukung Spencer dan ingin membiarkan anak itu untuk berada lebih lama di pusara kedua orang tuanya, namun beberapa dari mereka terus mendesak bahwa nasib Houndsworth tidak bisa dianggap remeh, mereka harus mengakui bahwa nyawa semua penduduk ada di tangan Spencer.

“Baiklah, kami akan lebih dulu menuju balai pertemuan. Aku harap kami tidak perlu menunggu terlalu lama.” Lord Matthew menengahi, tetua desa yang lain diam tidak berdebat lagi mereka tunduk dengan ketua mereka. Mereka hanya berharap dalam hati bahwa Spencer tidak akan melupakan tanggung jawabnya.

“Aku berjanji tak akan lama….” kata Spencer sebelum para tetua desa meninggalkannya sendirian di pusara kedua orang tuanya.

***

Kabut tipis menghalangi cahaya bulan yang saat itu memasuki fase purnama, Houndsworth gelap gulita. Semua meringkuk dalam rumah, tak ada yang berani keluar rumah. Mereka semua takut sesuatu akan menerkam mereka di luar sana, menjadikan mereka sebagai santap malam. Terlebih setelah pelindung mereka pasangan Barnett tewas, hal ini menambah keresahan tiap orang jika malam hari datang.

Dua siluet manusia nampak berjalan menembus kegelapan dengan berbekal sebuah obor di tangan seorang yang nampak lebih tinggi dari yang satunya, mereka bergerak perlahan menembus belantara hutan pinggiran Houndsworth.

Dua orang itu terus berjalan masuk ke tengah hutan, menembus semak belukar dan rerimbunan pohon. Tepat saat mereka sampai di depan sebuah gua yang terhalang sulur mereka berhenti.

“Jadi ini tempatnya?” tanya seseorang berjubah hitam dengan tudung yang masih menutupi sebagian wajahnya. Dia melangkah mendekati mulut gua, namun ia tidak meneruskan langkahnya, hanya diam meresapi semua yang ada disana. Ketakutan, gelisah, rasa ingin tahu, juga suatu perasaan yang tidak bisa dia gambarkan. Sebuah intuisi yang dari tadi terus menyita perhatiannya.

“Ya, dulu para pendahulumu membuka takdirnya di sini.” kata pria berjubah putih dengan tubuh tambunnya. Pria itu melangkah mendekati seseorang berjubah hitam di depannya, seseorang yang sebentar lagi akan menjadi pelindung Houndsworth yang baru.

Pemuda bertudung hitam itu, membuka tudungnya. Matanya menerawang jauh ke dalam gua yang gelap itu mengira-ngira apa yang akan menunggunya disana. “Apa seseorang pernah gagal sebelumnya? bagaimana kalau aku gagal?” ada seraut kecemasan di wajahnya.

Pria berjubah putih itu tersenyum sekilas, “Jika kau gagal melaluinya, tentu saja kau akan mati.” pemuda berjubah hitam itu mendadak pucat, mati?

Bukan hal baru lagi tentunya, meskipun dia hidup dia tetap harus mengorbankan nyawanya. Jadi sama saja, hanya masalah waktu untuk dia menemui ajal.

“Tapi darah Barnett tidak pernah berbohong…”

Pemuda berjubah hitam itu mengerjapkan matanya sekali, ia seperti mendapat angin segar. “Maksudmu?”

“Keluarga Barnett tidak pernah gagal melaluinya, itulah sebabnya keluargamu yang mendapat tugas besar ini. Beberapa orang dari keluarga lain pernah mencoba dan semuanya gagal, hanya keturunan langsung Lord Leonard Barnett yang mampu bertahan.” Pemuda berjubah hitam itu tersenyum, ia bangga mewarisi darah Lord Leonard Barnett pendiri Houndsworth. Dan sekaranglah saatnya dia mengambil tanggung jawab sebagai satu-satunya keluarga Barnett yang tersisa.

“Kau yang termuda yang pernah datang kemari,” pria berjubah putih itu mundur beberapa langkah. Saatnya hampir tiba, Spencer harus segera masuk untuk membuka takdirnya. “Masuklah dan cepatlah kembali, Houndsworth menunggu pelindung baru mereka…”

“Aku mengerti.” Spencer menarik napas sebentar, dada kirinya riuh dengan debaran-debaran jantungnya yang tak teratur. Debaran jantungnya semakin keras saat kakinya mulai menapaki mulut gua, gelap. Tidak ada apapun yang bisa dia lihat kecuali hitam.

***

Lizzy terus gelisah di kamarnya, malam ini adalah waktu yang tetua desa mereka putuskan untuk Spencer. Dia tidak habis pikir, tanggung jawab sebesar itu dibebankan pada anak berusia tiga belas tahun? Pasti tetua desa mereka sudah gila!

“Lizzy, kau belum tidur?” Lizzy memalingkan wajahnya dari jendela kamar, di depan pintunya berdiri wanita paruh baya yang telah mengabdikan separuh usianya untuk keluarga Barnett.

“Belum… kau sendiri belum Lilia?” Lizzy kembali menatap jendela, ia berharap tadi saat melepas Spencer pergi bersama Lord Matthew bukanlah kali terakhirnya ia melihat Spencer.

“Kau mencemaskan Lord Spencer?” Lilia kemudian duduk di sebelah Lizzy, meletakkan kepala gadis itu kepelukannya. Lilia dulu punya seorang anak, seorang anak perempuan yang manis seperti Lizzy, namun ‘mereka’ membuat dia harus kehilangan anaknya. Dan semenjak Lizzy hadir, dia seperti mendapatkan kembali sosok anaknya yang telah lama pergi.

Lizzy mengalihkan perhatiannya dari jendela ke iris mata abu-abu milik Lilia. Dia merasa damai, pelukan yang Lilia berikan sama hangatnya dengan pelukan ibunya. Meski dia tidak bisa ingat dengan jelas seberapa hangat pelukan ibunya dulu, namun ia bersyukur selama ini Lilia selalu menyayanginya seperti anaknya sendiri.

“Aku tidak pernah berhenti mencemaskannya, aku tidak tahu kenapa…” Lizzy menghembuskan napasnya perlahan mencoba menenangkan hatinya sendiri, dia harus percaya bahwa Spencer akan baik-baik saja. Spencer sudah berjanji akan kembali, harusnya itu cukup untuk membuat hatinya tenang.

“Karena kau menyayanginya dan begitupun dengan dia. Dia menyayangimu seperti keluarganya sendiri.” Lilia membelai lembut puncak kepala Lizzy, gadis itu mulai memejamkan matanya.

Lilia menatap gadis yang terlelap di pelukannya dengan tatapan yang menyejukkan, dia kagum dengan lika-liku kehidupan gadis itu. Gadis itu sangat kuat menghadapi semuanya, meski Lizzy mudah menangis tapi hatinya sangat kuat. Dia sangat kuat menghadapi dunia yang hitam dan mengerikan ini.

***

Spencer melangkah ragu memasuki gua yang gelap itu, Lord Matthew berkata bahwa keberanian yang akan menyinari langkahnya sehingga Spencer tidak dibekali obor. Spencer merasa ada yang janggal, bukankah dia masuk ke dalam sebuah gua?

Harusnya kakinya berkali-kali terpeleset karena tidak bisa melangkah dengan benar diantara batu-batu yang tersusun tak rapi atau dia menabrak bongkahan batu besar yang bisa kapan saja membuat kepalanya benjol. Tapi gua ini terasa begitu aneh. Jika memang aneh bisa mewakili kata terlalu datar untuk lantai gua dan terlalu luas untuk ukuran sebuah gua.

“Siapa kau?” Spencer tidak meneruskan langkahnya saat ia mendengar suara seseorang menggema di dalam sana.

“Aku? Aku Spencer…Spencer Barnett!” teriak Spencer tak tentu arah, karena dia tidak bisa melihat lawan bicaranya. Hanya hitam, seperti pertama kali menjejakkan kakinya masuk.

“Barnett?” suara itu sedikit menggantung, kemudian hening. Spencer sempat mengira bahwa orang-jika memang ada manusia yang hidup disini-itu sudah pergi karena sejak tadi tidak ada suara apapun lagi, Spencer hanya dapat mendengar deru napasnya sendiri yang berpacu dengan detak jantungnya.

“Kau…berapa umurmu?” Suara itu terdengar lagi.

“Tiga belas tahun.” jawab Spencer mantap, masalah umur bukan hal penting lagi sekarang. Spencer memang sudah matang dari segi berpikir, jauh diatas anak-anak seusianya.

“Kau masih terlalu muda.” kata suara itu lagi.

“Aku siap, usia bukan masalah. Yang terpenting aku sudah memahami tugasku dengan baik!”

Mata Spencer tiba-tiba tersentak oleh kilatan cahaya putih yang membuat pupil matanya tidak siap harus menyempit dalam tempo waktu sepersekian detik, lama kelamaan Spencer dapat membiasakan matanya setelah mengerjap-ngerjap beberapa kali. Dia mulai bisa melihat dengan jelas bahwa ini bukanlah gua seperti kebanyakan gua yang dia tau, lantainya terbuat dari kayu, ada beberapa meja di sudut-sudut ruangan yang di penuhi tumpukan buku. Ruangan itu mirip seperti ruang kerja, hanya saja atapnya masih asli atap gua.

Spencer merasakan ada hawa dingin di bahu kanannya, dia menatap kearah bahunya dan ia mendapati ada tangan yang sangat putih disana. Spencer menengok kebelakang, kearah orang yang memegang bahunya.

“Kau siapa?” tanya Spencer kepada wanita muda berumur sekitar dua puluhan tahun, menggengam erat bahunya dengan tangannya yang dingin.

“Aku tinggal di gua ini, namaku Elenna!” kata wanita itu sambil tersenyum, dia mengangkat sedikit rok putih yang dia kenakan sebatas mata kaki itu untuk kemudian melangkahi buku-buku yang tercecer di dekat meja.

“Apa kau bisa membantuku untuk membuka takdirku?” tanya Spencer langsung. Elenna masih menghindari buku-buku terinjak kaki telanjangnya untuk bisa mencapai kursi di balik meja yang lumayan kosong dari tumpukan buku.

“Semua keluargamu datang kepadaku untuk melakukannya.” jawab Elenna datar, memang tidak pernah ada orang lain yang datang untuk hal lain.

“Jadi apa yang harus aku lakukan?” tanya Spencer sambil berusaha mendekat ke arah Elenna, tapi wanita itu mengayunkan tangannya mencegah Spencer mendekat.

“Aku tidak akan menyulitkanmu, karena kau yang terakhir dan masih sangat muda aku memberimu pengecualian.” Elenna menatap Spencer dengan tatapan yang teduh kemudian Ellena menundukkan kepalanya, mengepal dua tangannya erat diatas meja.

Spencer mengernyitkan dahinya, tak mengerti apa yang Elenna lakukan.

Beberapa menit kemudian Spencer melihat pendaran cahaya hijau dari dahi Elenna, wanita itu terpejam dengan rambut panjang keemasannya yang berkibar seperti tertiup angin padahal Spencer bersumpah dia sama sekali tidak merasakan adanya angin sama sekali.

Booooooooooom

Sebuah benda keluar dari tumpukan buku yang berada di meja sudut gua bagian belakang, sebuah kotak persegi dari bahan kayu ek!

Boooooooooooom

Bukan hanya satu ataupun dua, tapi ada sekitar lima kotak yang keluar dari masing-masing tumpukan buku di tempat berbeda. Ke semua kotak itu berderet rapi beterbangan kearah meja di depan Elenna, membentuk sederet barisan.

“Kemarilah, dan pilihlah takdirmu sendiri!”

 

***

Namanya juga Teaser

XD

Bingung ini FF enaknya dilanjut atau gak tapi nanggung udah dapet segini XD

Oh iya, silahkan menebak ‘mereka’ itu makhluk apa..yang bener dapet poppo author XD

Park Sangra…kau muncul lagi^^

Makasih buat Elenna yang udah mau berperan sebagai makhluk gua^^

Ah, belum sempet bikin cover>,<

Ada yang mau bikinin?

Kekeke…

Ya udah ya saya mau bertapa lagi silahkan meninggalkan jejak biar ide aku bertambah subur>~<