[One Shoot] Nothing wrong, we just fell in love

Nothing wrong, we just fell in love

~Hyesun’s POV~

Aku merubah posisi bantalku menjadi tegak lalu menyandarkannya pada tembok tak jauh dari kasur gulungku, merebahkan kepalaku disana. Lalu dengan pelan aku mengusap pipi seorang pria yang tidur lelap di sebelahku dengan wajah polos khas anak kecilnya. Aku beruntung dia belum membuka matanya, aku takut. Sebab matanya dapat menenggelamkanku pada berjuta kebahagiaan yang membuatku tak mau berpaling dari dua mata itu.

Aku beralih mengusap rambut yang menghalangi keningnya, aku mengecup kening itu lembut lalu melanjutkan lagi kegiatanku mengagumi wajahnya. Tidak ada kata lain yang bisa ku lontarkan selain sempurna, bukan hanya aku yang jatuh pada pesona wajah ini. Puluhan bahkan ratusan gadis yang ada di universitas kami sangat mengagumi ketampanannya, dia punya julukan ‘wajah karakter manga’ dan ku akui hal itu benar. Namun ada satu hal lagi yang membuatku jatuh hati padanya, kebaikan hatinya.

Dia tipe orang yang tanpa pamrih akan menolong siapapun, dan aku sangat menyukai sifatnya itu. Berkat sifatnya itu aku bisa belajar banyak hal terutama, hidup bukanlah seberapa banyak harta yang kau miliki, atau seberapa cerdasnya dirimu tapi hidup akan lebih berarti saat kau berbagi. Prinsipnya yang sangat aku sukai.

Jari telunjukku mulai menelusuri garis bibirnya, lembut dan terlihat sangat menawan. Bibirnya, salah satu daya tariknya juga. Aku beruntung dapat memiliki bibir ini, dapat memiliki dia.

“Kau nakal!” aku tersentak saat tangannya menghalangi jari telunjukku untuk menelusuri lebih jauh bibir merah alaminya. Matanya saat ini terbuka sempurna, padahal aku yakin tadi masih terpejam.

“Eoohh…” kataku salah tingkah karena dia berhasil menangkap basah kegiatan rahasiaku.

Would you?” dia memajukkan bibirnya dengan sedikit aegyo, bermaksud agar aku mau memberinya morning kiss.

Wajahku memanas, “Kau hampir terlambat Tuan Lee!” Aku bangkit lalu meninggalkannya yang masih nyaman berada di kasur gulung itu, oh percayalah aku sangat tergoda untuk memberinya ciuman selamat pagi tapi yah, aku masih sedikit canggung. Jadi aku memilih untuk menuju dapur kecil kami, bersiap membuatkan sarapan sederhana untuknya sebelum dia berangkat kerja. Aku tidak bisa memasak banyak variasi makanan, hanya nasi goreng, telur mata sapi dan ramyeon. Itu sudah cukup bagus untuk ukuranku. Aku ingin belajar memasak varian yang lain tapi dapur kecil ini tidak memungkinkan, dan sayangnya lagi kami tidak memiliki peralatan dapur yang lengkap.

plaaaak,

Aku menangkupkan kedua tangan ke pipiku sendiri, syukuri apa yang ada sekarang dan berhentilah mengeluh Choi Hyesun!

“Aku mau morning kiss ku…” aku mendengar suara itu tepat di telingaku.

Ya! oppa. Kau mau membuatku terpanggang huh?” aku dengar dia hanya terkekeh. Lalu dia mendekap pinggangku erat sambil menghembuskan napasnya di leherku, membuatku menggelinjang sedikit kehilangan konsentrasi menggoreng telur mata sapi itu, aku berharap telurnya tidak akan gosong.

“Kau jahat Nyonya Lee, kau sudah diam-diam menelusuri wajahku saat aku tidur tapi kau tidak mau bertanggung jawab!” sekarang aku tertawa, ucapannya benar-benar membuatku merasa bahwa aku seorang pemerkosa yang dimintai pertanggung jawaban olehnya. Dasar!

Tapi Nyonya Lee?

Aku merasakan jantungku melompat-lompat gembira, aku sangat menyukai panggilan baruku itu…

Dan, aku rasa pertahanku mulai goyah. Aku memutar badanku lalu mulai memiringkan wajahku. Memberikan haknya yang sedari tadi dia tuntut, dan entah berapa lama. Yang aku tahu setelah itu tercium bau gosong dari telur mata sapiku.

*

***

*

Donghae oppa sedikit tergesa-gesa tadi, dia sarapan kurang dari lima menit. Untungnya dia masih bisa mandi, karna jika tidak dia harus berangkat kerja tanpa mandi. Dia sudah berangkat kerja  jadi di rumah ini tinggal aku seorang.

Sepi, aku tidak seharunya memikirkan ini tapi sekarang aku berpikir alangkah bahagianya jika rumah kami segera terisi oleh tangis dan tawa seorang bayi. Oke, aku rasa aku sudah benar-benar melantur. Kami baru sebulan menikah jadi kehadiran seorang bayi nampaknya masih terlalu dini.

Aku menikmati tugasku sebagai istrinya, membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci baju, semua itu aku lakukan dengan senang hati. Dan aku benar-benar bersyukur meskipun kami hanya tinggal disebuah apartemen kecil dengan fasilitas seadanya, aku yang dulu selalu menganggap orang yang bilang asal dengan cinta semua hal menjadi mungkin adalah seorang pembual.

Tapi nyatanya kini aku merasakannya sendiri, aku bisa hidup pas-pasan begini, tapi aku bahagia. Sebab aku menjalani hari-hariku dengan orang yang kucintai.

Aku mengunci pintu apartemen kami, aku akan keluar sebentar membeli beberapa bahan untuk makan malam kami.

Baiklah aku akan jujur, aku akan masak ramyeon malam ini dan aku kehabisan daun bawang-_-

Aku merapatkan mantelku dan membenarkan posisi syal ku yang sedikit miring, musim gugur di Seoul memang dingin. Aku memperhatikan orang-orang yang berjalan tergesa-gesa lainnya, mereka lebih tergesa-gesa dari pada aku. Ada beberapa anak sekolah yang aku yakin tergesa-gesa menuju tempat kursusnya dan beberapa orang yang terlihat seperti mahasiswa, melihat mereka sekilas seperti melihat bayangan diriku sendiri beberapa bulan yang lalu. Aku juga sama sibuknya seperti mereka, waktu yang berpacu selalu menuntut untuk dikejar. Hingga, sebulan yang lalu aku memutuskan untuk berhenti, aku menemukan seseorang. Seseorang yang membuat hidupku lengkap, Lee Donghae.

Aku menatap langit senja yang terlihat berkilauan, cahaya berwarna jingga membuat suasana terbawa efek romantis. Donghae oppa, apa sekarang kau juga melihatnya? Langit saat ini terlihat sangat indah!

“Hyesun-ah!” aku menghentikan langkahku, lalu menoleh kebelakang.

“Henry!” aku melihat sahabat sejak kecilku itu tergesa-gesa menghampiriku, seakan aku ini hanya fatamorgana yang bisa hilang dengan cepat.

“Sahabatku yang jahat, kau pergi kemana saja huh?” sisa beberapa langkah, dia merubah larinya menjadi langkah-langkah kecil. “Maafkan aku, aku tahu kau merindukanku Henry…hehehe.” candaku, dan dia tertawa mendengar kenarsisanku yang tidak pernah hilang ini.

“Kau tidak tahu, kau tidak tahu seberapa rindunya aku padamu!” Dia menarik bahuku cepat, lalu menenggelamkanku pada pelukannya. Aku hanya bisa mengerjap heran, dia…

“Ya! Kau hanya tak melihatku selama sebulan Henry, tapi kau memelukku seakan-akan aku ini sudah menghilang ratusan tahun!” Aku mendorong tubuhnya, menyudahi pelukan kami. Aku sekarang sudah menikah dan berpelukan dengan seorang laki-laki yang bukan suamiku membuatku tak nyaman meskipun itu adalah Henry.

“Aku tidak bisa menemukanmu di kampus,” aku menatap matanya sebentar lalu dia melanjutkan. “dan ternyata kau sudah lama meninggalkan rumah…”

Aku tersenyum kecil.

“Kenapa? Kenapa harus begini Hyesun-ah?” Aku tersentak, aku benci siapapun yang menanyakan hal itu, kenapa? bagaimana bisa? haruskah?

“Aku mohon Henry, aku tidak ingin kau jadi orang yang aku benci. Jangan menanyakan apapun tentang sesuatu yang tidak ingin kubicarakan.” Henry kaget melihat ekspresi wajahku yang mendadak muram, dia kemudian terdiam. Menyelami pikirannya sendiri, matanya bergerak-gerak seakan tengah memilah kata-kata yang akan dia keluarkan nanti.

“Henry, maaf aku tidak bisa lama-lama. Aku harus memasak makan malam.” Aku mengangkat kantung belanjaanku, berusaha menyakinkan dia bahwa aku benar-benar sibuk.

“Tunggu!” Aku mengerutkan keningku, memiringkan sedikit kepalaku heran.

“Kau benar-benar sudah menikah dengan dia, dengan Donghae sunbae?”

Ne!” aku mengangguk, kemudian tersenyum. Lalu mengangkat tangan kiriku, di jari manisnya tersemat sebuah cincin. Cincin pernikahan kami.

“Kau tidak mengucapkan selamat?” tanyaku heran.

Henry menatapku lama, lalu akhirnya dia mengatakannya. “Cukhae!”

*

***

*

“Selamat datang!” Saat pintu apartemen terbuka terlihat Donghae oppa muncul dari balik pintu, segera saja aku berlari ke arahnya. Memberinya sebuah pelukan selamat datang.

Lama aku tidak merasakan balasan darinya, kemudian aku melepaskan pelukanku. Aku baru sadar kalau Donghae oppa terlihat berbeda tak seperti biasanya, wajahnya seperti tak bergairah dan sedikit pucat.

“Apa yang terjadi oppa? apa terjadi masalah?” tanyaku.

Donghae oppa menggeleng, lalu menatapku. “Kau bahagia menikah denganku?” ada apa? kenapa tiba-tiba menanyakan hal ini. “Tentu saja oppa.” jawabku langsung tanpa ragu.

“Kau tidak sedang berbohongkan?” mataku melebar.

“Kenapa kau berpikir bahwa aku sedang berbohong?” aku menarik napas frustasi, pertemuan dengan Henry tadi benar-benar membuatku merasa buruk dan sekarang bahkan Donghae oppa -suamiku- berpikir bahwa aku tidak bahagia menikah dengannya.

“Maafkan aku, aku hanya…sedang ada masalah di kantor.” Donghae oppa meraih tanganku. Matanya berkilat-kilat, menyisakan sebuah penyesalan.

“Sebaiknya oppa mandi dulu!” aku melepaskan tangannya, beranjak ke dapur untuk mempersiapkan makan malam.

*

***

*

Kami tidak biasa bertengkar lama-lama, nyatanya sekarang kami ada di dapur berdua. Bersama-sama memasak ramyeon, aku memotong-motong daun bawang, sawi dan wortel sedangkan dia sedang menunggu air di panci mendidih.

“Kenapa nasinya dari tadi tidak matang-matang sih?” gumamku heran. Sudah satu jam lebih aku menunggu nasi di rice cooker matang, tapi dari tadi masih berupa beras yang terendam air. Aku memeriksa kabel rice cooker, tertancap tepat ke stop contact. Dan tentu saja saat ini tidak sedang mati lampu.

“Apa rice cooker kita rusak?” Donghae oppa menghampiriku, kami berdiri bingung di depan rice cooker.

“kemarin masih berfungsi dengan baik, lagi pula ini rice cooker baru kan oppa.” kataku, bahkan kami baru membelinya sebulan lalu saat kami pindah kemari.

“Lalu, apanya yang salah?” gumam Donghae oppa sambil membuka-tutup rice cooker, ada uap panas yang keluar tapi tidak begitu panas. Mungkin hanya cukup untuk menghangatkan nasi saja, tidak cukup untuk membuatnya matang.

Aku mengerutkan alisku, apa tadi yang kupikirkan?

Aku memeriksa tombol cooking dan warm di rice cooker, nah benarkan. Aku lupa tidak memencet tombol cooking, pantas saja nasinya tidak matang-matang!

Donghae oppa tersenyum lalu mengacak-acak rambutku gemas. “Dasar pelupa,” aku mengerucutkan bibirku. “Kepalamu itu terlalu banyak berisi aku,hehhe…” kata oppa narsis. Tapi dia memang benar.

“Cissh…Terlalu percaya diri!”

“Benarkah? benar kau tidak memikirkanku setiap saat? aku tahu kau Hyesun-ah, mungkin tiap melihat langit kau akan mengingatku, tiap melihat laut kau mengingatku, disetiap hembusan napasmu kau mengingat diriku.” Aku tersenyum, mengingat bahwa tadi sore saat langit berubah menjadi jingga, aku mengingatnya. Dia benar, disetiap hembusan napasku ada dia. Tidak salah sama sekali.

“Dan seberapa besarnya kau mencintaiku aku lebih mencintaimu Hyesun-ah.” katanya sambil mengerlingkan satu matanya padaku. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Dia pintar sekali mengambil hatiku.

Saranghae!” Aku mengecup bibirnya sekilas.

“Bagaimana kalau kita batalkan saja acara makan kita?” katanya kemudian sambil meraih tanganku, menyeretku hingga kepalaku menabrak dadanya yang bidang.

Wae?” kataku sedikit menggerutu.

“Bukankah kita masih pengantin baru?”

Aku menyipitkan mataku, sedang dia ternyata memasang ekspresi tajam seolah aku ini makanan.

Aku mengerti arti tatapan itu.

“Tidak, kau harus makan oppa. Aku tidak mau kau sakit.”

“Aiissshh…”

*

***

*

Aku mengambil dua buah cangkir dari almari dapur yang berisi satu set perlengkapan minum teh, lalu mulai menyeduh teh untuk tamu pertama yang berkunjung ke apartemen kami. Dia, ada di ruang duduk kami yang berukuran lima kali lima meter. Entah apa yang dia pikirkan saat ini tentang apartemen kami, sedikit kecewa mungkin. Lantaran ia harus duduk di sofa yang sama sekali tak empuk atau dia sedang mencemoohku lantaran aku mau hidup dalam dunia yang sama sekali berbeda dengan dunianya. Duniaku yang dulu.

“Ini teh mu Hyunhee-ya.” Aku meletakkan nampan itu di meja. Lalu meletakkan satu cangkir di dekatnya, cangkir yang satunya aku taruh di dekatku.

“Terima kasih.” Hyunhee menatapku lalu tersenyum, tapi dia kelihatan tidak tertarik untuk meminum teh yang ada di hadapannya.

“Bagaimana bisa kau tahu aku tinggal disini? Henry yang memberi tahumu?” tanyaku tanpa mau ambil pusing dengan sikapnya. Dia tidak seburuk kelihatannya. Aku tahu itu.

Hyunhee menatapku dengan lebih lembut, lalu dia menunduk. “Bukan, Henry tidak pernah datang ke rumah lagi semenjak terakhir kali dia mencarimu. Hyesun-ah, aku tahu kau tidak akan menurutiku tapi aku harus mengatakan ini. Kau harus pulang! Kau harus mengakhiri semua ini!”

Aku terkesiap dengan kata-katanya yang frontal. “Jangan mulai lagi Hee-ya. Kau tahu aku tidak mungkin kembali, aku sudah memilih.” Aku meraih ujung kaos yang kukenakan, meremasnya kesal.

“Kau masih bisa kembali, semuanya belum terlambat!” Hyunhee mulai menatapku lagi. Ada sedikit kekhawatiran disana.

“Tidak, aku telah memilih hidup bersama Donghae. Aku tidak keberatan meski mereka menghapusku dari daftar keluarga, sama sekali tak keberatan.”

Hyunhee menarik napas dalam. Mengumpulkan lagi kesabarannya, tapi percuma saja. Aku tidak akan kembali ke rumah.

“Bagaimana bisa kau membuang keluargamu?” nada bicara Hyunhee menjadi lebih tinggi dari sebelumnya.

“Karena keluargaku tidak bisa menerima Donghae.”

“Bodoh!”

Aku tersenyum miris, bagi mereka aku memang bodoh. Melepaskan semua gelar keluarga terpandang demi menjadi istri seorang laki-laki yang sama sekali tidak sederajad. Tapi bagiku itu adalah keputusan yang paling benar, aku tidak mau hidup di tengah-tengah keluarga yang memandang seseorang berdasarkan harta maupun kedudukannya.

“Cukup bodoh untukmu. Tapi aku bahagia.”

“CHOI HYESUN!!!” Hyunhee berdiri, amarah tercetak jelas diwajahnya.

“Ya, sepupu?”

“Jika saat ini kau sedang bermain-main maka kau harus berhenti sekarang,karena mereka bisa merebut mainanmu secara paksa jika mereka mau. Kau bisa lari, tapi kau tidak pernah bisa bersembunyi! Hentikan sebelum keegoisanmu membuat seseorang celaka!” Hyunhee berjalan menuju pintu, membantingnya dengan keras.

*

***

*

~Donghae’s POV~

Hyesun masih asyik bersandar di bahuku sambil tertawa lepas menonton film yang kami sewa tadi di rental film tak jauh dari apartemen. Aku tidak memperhatikan sama sekali film itu sebab dari tadi aku hanya memandangi wajahnya. Dia jarang memperlihatkan wajah murung di depanku, selalu tersenyum. Kadang tertawa lepas, tapi hatiku selalu berkata bahwa dia berpura-pura tabah.

Aku merasa sangat bersalah padanya, demi hidup bersamaku-menjadi istriku-. Dia rela meninggalkan semua kenyamanan, harta, kedudukan, dan keluarganya. Fakta bahwa keluarga Choi menginginkan seorang menantu dari kalangan sederajad-lah yang membuat kami senekat ini. Awalnya tentu saja tak mudah dan jujur saja aku tidak bisa melihatnya harus hidup susah bersamaku. Tapi lagi-lagi dia selalu tersenyum, tidak pernah mengeluh. Hal itu yang membuatku merasa sedikit lega.

Dia tidak protes meski sebagai suaminya aku tidak bisa menghadiahkan honey moon mewah seperti keliling eropa melainkan hanya berlibur ke Mokpo tempat asalku, bahkan apartemen kami tidak bisa dibandingkan dengan kamar pelayan keluarga Choi. Harga diriku sebagai seorang laki-laki terluka, tapi lagi-lagi senyumnya memberiku harapan. Aku tidak sepenuhnya gagal.

Wae?” tanyaku saat dia mulai mengangkat kepalanya, tidak bersandar di bahuku lagi.

Bukannya menjelaskan apa yang terjadi dia malah buru-buru berlari menuju kamar mandi, aku mengikutinya dari belakang. Khawatir terjadi sesuatu.

“Hoooeeeekkkss!” kedua tangan putihnya berpegangan erat pada wastafel, sementara ia sibuk memuntahkan semua isi perutnya.

Gwenchana?” aku memijat tengkuknya pelan dari belakang. Dia mengangguk lemah, menarik napas panjang lalu mulai menyalakan kran untuk berkumur.

“Kau terlalu lelah, jangan memaksakan diri.” kataku sambil memapahnya menuju kamar kami, aku meninggalkannya di depan pintu sementara aku meraih kasur gulung kami, membereskannya agar dia bisa langsung tidur. Sial, lagi-lagi aku kecewa pada diriku sendiri. Harusnya aku bisa memberinya sebuah kasur spring bed dan selimut tebal di saat seperti ini.

Oppa…” panggilnya pelan.

Ne?” aku hampir menyelesaikan semuanya saat dia memanggilku, aku menengok kebelakang. Menengok ke tempatnya berada.

Dia menghampiriku, meraih tanganku lalu menempelkannya ke perutnya kemudian tersenyum.

Aku menautkan kedua alisku tak mengerti.

“Selamat, kau akan menjadi seorang appa!”

“ne…MWO?!”

“Harusnya beberapa hari yang lalu periode mestruasiku oppa, jadi tadi aku mencoba tes kehamilan dan hasilnya positif. Aku hamil!” Hyesun langsung memelukku erat.

Jinjja? Hyesun-ah aku sangat bahagia. Terima kasih, aku benar-benar merasa telah menjadi  lelaki sempurna sekarang. Terima kasih sayang!” Aku mengecup puncak kepalanya. Kemudian merapatkan pelukan kami.

Terima kasih Tuhan!

*

***

*

~Hyesun’s POV~

“Henry?” aku sedikit terkejut saat mendapati Henry ada di luar apartemenku. “Kau tidak ada kuliah saat ini?” mengingat bahwa siang hari seperti ini biasanya dia sedang berada di kelas mengikuti perkuliahan, aku sedikit curiga kalau Henry bolos.

“Aku ingin bicara!” Henry meraih tanganku, menariknya paksa. Aku tidak bisa menolak karena sepertinya ini serius. Henry yang sekarang ada di hadapanku sangat berbeda dengan Henry yang selama ini kukenal. Apa yang telah terjadi padanya?

Henry mulai melongarkan tangannya saat kami sampai di bawah pohon rindang di kompleks taman apartemen, dia beberapa langkah ada di depanku. Membelakangiku sehingga dari tempatku berada aku hanya bisa melihat punggungnya.

“Hyesun-ah, aku minta maaf padamu tapi aku harus mengatakan ini…”

Aku menelan ludah, apa lagi-lagi dia akan mengungkit keluargaku, keluarga yang sudah kutinggalkan. Rasanya ingin kukubur dalam-dalam masa lalu kelam tentang keluarga itu. Sebenarnya mereka tidak pantas disebut sebagai keluarga, hanya sekumpulan orang busuk dengan mindset yang busuk pula.

“Hyesun-ah, aku mencintaimu…”

DEG!

Henry? Mencintaiku?

“Saat orang tuamu menjodohkan kita aku sangat gembira karena akhirnya Tuhan mengabulkan doaku untuk bisa menjadikanmu pendamping hidupku tapi aku benar-benar terluka saat kau kabur sebelum pesta pertunangan kita, dan saat aku menemukanmu ternyata kau sudah menikah dengan orang lain. Maafkan aku karena meskipun saat ini kau sudah menikah aku masih belum bisa melupakanmu, aku tahu harusnya tidak begitu tapi aku rasa kau harus tahu alasannya…”

Aku tidak pernah melihat Henry serapuh ini, aku jadi merasa berdosa telah membuat hatinya terluka sedalam ini. Tapi bagaimana bisa Henry mencintaiku, apa selama ini Henry terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. “Tidak Henry, aku yang salah… Aku meninggalkan pesta pertunangan kita begitu saja tanpa memberi tahumu apa-apa. Maafkan aku!” Aku menghampiri Henry. Mencoba memperkecil jarak diantara kami tapi aku menghentikan langkahku saat melihat dua tangan Henry terkepal erat. Dia menangis!

*

***

*

Donghae oppa meraih tubuhku, memeluknya hangat. Aku menenggelamkan kepalaku ke dada bidangnya untuk menghirup aroma tubuhnya yang sangat wangi. Dia mulai mengusap puncak kepalaku sayang dan aku mulai terbuai, dia kemudian meraih daguku. Tinggiku yang lebih pendek darinya membuat keningku yang saat ini ada di depan bibirnya. Dia mengecupnya lama, dan aku benar-benar merasa bahwa dia sangat mencintaiku.

Aku meraih tangannya, menempelkannya di perutku. “Kau ingin anak perempuan atau laki-laki?” Aku menatap wajahnya memperhatikan baik-baik ekspresi wajah apa yang dia berikan, dan dia nampak sangat bahagia. “Aku suka keduanya, yang mana saja boleh.”

Aku tersenyum kecil, dia memang tidak pernah menuntut apa-apa dari orang lain. Tipe yang menerima dengan apa adanya, dan rupanya sifat itu terbawa hingga kepernikahan.

“Aku ingin seorang Donghae junior yang mewarisi wajah tampan ayahnya, tapi aku tidak mau dia pendek seperti ayahnya…” godaku, Donghae oppa tertawa kecil sambil memencet hidungku.

“Hyesun junior mungkin lebih lucu, tapi tentu saja sifatnya harus seperti aku karena sifat 4D ibunya sangat mengkhawatirkan…” Dia membalasku. Saat aku ingin melayangkan sebuah pukulan dia malah menunduk, aku kira awalnya dia melakukan itu untuk menghindari pukulanku tapi aku salah besar. Rupanya dia berjongkong agar tingginya sejajar dengan perutku.

Dia mengusap perutku pelan, “Kau harus lahir dengan sehat dan harus bisa menjaga ibumu.” Bisiknya pada perutku.

“Apa yang kau katakan oppa, kau juga harus menjaga aku dan anak ini!”

“Iya, tentu saja.”

*

***

*

Aku menempelkan ponselku pada telingaku erat, sudah ratusan kali aku mencoba menghubungi Donghae oppa sejak dua hari yang lalu tapi hasilnya masih sama, dia tidak menjawab panggilanku. Sudah dua malam aku tidak bisa tidur karena dia tidak kunjung pulang, aku takut terjadi sesuatu padanya.

“Halo…”

“Halo ini Lee Donghae, saat ini aku sedang sibuk, tolong tinggalkan pesan. Terima kasih.” Lagi-lagi hanya suara mesin penjawab.

“LEE DONGHAE KAU KEMANA?!” Aku menangis, aku hanya tahu menangis beberapa hari ini. Entahlah rasanya saat ini aku tidak bisa melakukan apapun kecuali menangis.

“Kau jahat!!” Aku membiarkan tubuhku merosot kelantai, memukul-mukul lantai kayu itu frustasi. Lee Donghae, kau tega membiarkanku menderita seperti ini!

Ting…tong…

Isakanku berhenti begitu aku mendengar seseorang memencet bel apartemen, oppa?

Tangisanku berganti dengan sebuah senyum yang mengembang, akhirnya kau pulang juga oppa. Aku tidak mempedulikan tubuhku yang lemah karena mengabaikan makan maupun fakta bahwa saat ini aku sedang mengandung. Aku ingin melihat suamiku!

“Henry?” aku hanya bisa kaget saat mendapati pemuda itu yang ada di hadapanku bukannya Donghae oppa.

“Hyesun!” Dia langsung memelukku.

“Ya! Apa yang kau lakukan?” Aku memukul-mukul tangannya, meronta agar dia melepaskan pelukannya tapi dia bersikeras untuk terus memelukku.

“Hyesun-ah kau harus tabah!”

Wae?”

“Donghae sunbae…”

“Apa yang terjadi dengannya?”

“Dia ada dirumah sakit, sekarat!”

“APA?” Dan rasanya saat ini duniaku seperti runtuh. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, tapi yang jelas aku tidak sadarkan diri.

*

***

*

~Author’s POV~

Suara kardiograf mendominasi ruangan ICU di rumah sakit pusat Seoul itu, Hyesun hanya terpaku di tempat duduknya yang berada di sebelah ranjang Donghae yang masih tidak sadarkan diri sedangkan Henry memilih untuk berdiri di belakang Hyesun, memberikan ketabahan pada gadis yang dicintainya itu dengan meletakkan tangan di bahunya. Tapi ia sadar Hyesun tidak merasakan bahwa ada seseorang yang peduli padanya sedang berdiri di belakangnya, Henry sangat khawatir dengan kondisinya yang jauh dari katabaik. Gadis itu sejak sampai ke ruangan ini hanya terfokus pada Donghae, suaminya. Dan Henry sadar betul, memang ada jarak antara dia dan Hyesun. Sebuah pernikahan.

“Apa yang terjadi padanya?” Tanya Hyesun dengan pandangan yang kosong, meskipun wajahnya menghadap Donghae yang masih terbaring tapi Henry sadar bahwa pikiran Hyesun memang melayang jauh.

“Entahlah, aku tahu dari salah satu suster disini yang melapor ke ayahku -pemilik rumah sakit ini- kalau salah satu pasiennya bernama Lee Donghae, dari kartu mahasiswa yang di temukan di dompetnya suster itu pikir bahwa dia teman kuliahku, atau minimal aku kenal karena sudah beberapa hari dia dirawat di rumah sakit ini tak sadarkan diri.”

“Lee Donghae, buka matamu! Katakan Apa yang telah terjadi padamu!” Hyesun berubah histeris, dia mengguncang-guncangkan tubuh Donghae. Tapi percuma saja, Donghae masih menutup matanya erat.

“Oh iya, katanya ada semacam surat di jaketnya!” Henry berusaha mengalihkan kehisterisan Hyesun, dia teringat pesan seorang suster bahwa ada semacam surat yang di temukan di saku jaket Donghae.

“Aku menyimpannya di laci!” Kata Henry sambil bejalan kearah lemari kecil disudut kamar itu, membuka lacinya lalu menyerahkan amplop putih itu kepada Hyesun.

Hyesun terdiam sejenak, tidak melakukan apapun kecuali menatap amplop putih ditangannya.

“Cek senilai seratus juta won!” kata Hyesun saat membuka amplop itu.

Hyesun menatap Henry dibelakangnya, Henry menaikkan bahunya. “No idea…” kata Henry kemudian.

*

***

*

Tiiiiiiiiiiiiiiit…

Sudah satu minggu Donghae terbaring di rumah sakit, dokter telah melakukan berbagai macam pemeriksaan untuk mengetahui penyebab Donghae kritis. Dokter berkata bahwa Donghae adalah korban dari praktek penjualan organ illegal, karena dokter menemukan bahwa salah satu ginjal Donghae tidak ada.

“Kenapa dia harus melakukan itu?” isak Hyesun saat Henry mendampinginya untuk melihat Donghae untuk terakhir kali.

“Mungkin dia melakukannya karena ingin melihatmu bahagia…”

“Aku sudah cukup bahagia selama dia ada di sisiku Henry, aku bahagia!”

“Tapi dia merasa dia belum cukup memberimu kebahagiaan. Dia melakukannya demi kau dan bayimu!”

“Kau tahu aku hamil?”

“Ne, Donghae sunbae menceritakannya padaku. Aku tahu alamat apartemenmu karena dia yang meneleponku dan memberitahukannya. Dia pernah memintaku untuk membawamu kembali, dia takut kau tak bahagia bersamanya. Tapi aku gagal melakukannya karena kau sangat mencintainya, dia salah. Kau sangat bahagia saat bersamanya!”

“Lee Donghae bodoh!”

“Dia sangat mencintaimu, itulah sebabnya dia melakukan semua ini. Dia dipecat dari perusahaannya dan kau sedang hamil, aku tidak tahu apa yang dipikirkannya saat memutuskan untuk melakukan ini!”

“Dia dipecat?”

“Keluarga Choi yang membuat dia dipecat, intimidasi yang mereka lakukan pada direktur perusahaan tempat sunbae bekerja mau tidak mau mereka harus memecat Donghae jika mereka mau bisnis mereka tetap lancar tanpa sandungan keluarga Choi!”

“Bodoh! Harusnya aku tahu iblis seperti mereka tidak akan tinggal diam! Bahkan Hyunhee sudah memperingatkanku!” Hyesun memukul-mukul kepalanya sendiri, mengutuk kebodohan dirinya.

“Kau tidak boleh menyalahkan dirimu Hyesun-ah. Dia pernah berkata bahwa dia tidak pernah menyesal menikah denganmu. Dia mencintaimu, sangat mencintaimu! Biarkan dia pergi dengan tenang!”

Henry merapatkan pelukannya pada sosok rapuh yang menangis tersedu dipelukannya, gadis itu menangisi kepergian suami yang sangat dia cintai. Suami yang memberikannya sebuah kebahagiaan meskipun singkat. Henry tidak peduli lagi apakah gadis itu mencintainya atau tidak yang jelas Henry merasa bahwa dia tidak bisa pergi sekarang, gadis itu membutuhkannya dan hati kecil Henry berkata bahwa dia harus mendampingi gadis itu agar dia tidak berbuat nekat.

*

***

*

R.I.P

Lee Donghae

Hyesun tak henti-hentinya menyeka air mata yang mengalir dari dua pelupuk matanya saat nisan itu bertuliskan nama suaminya meskipun sudah ratusan kali dia mengerjap dan berdoa dalam hati kalau dia benar-benar salah melihat, tapi nihil. Pusara itu memang, pusara suaminya. Lee Donghae. Mulai saat ini dia harus belajar untuk menghadapi kenyataan bahwa dia akan memulai tugas barunya sebagai seorang ibu tanpa ditemani Donghae.

Hyesun mengusap perut buncitnya pelan, perih. Kenapa semua ini harus terjadi pada dia dan anaknya? Kenapa dunia begitu tidak adil. Saat diluar sana banyak keluarga bahagia yang masih lengkap anggotanya, dengan ayah-ibu dan anak mereka. Kenapa dia dan anaknya harus tertimpa nasib pahit seperti ini. Yah, Semua karena keluarga CHOI!

“Kau mau melakukan apa setelah ini?” Henry yang dari tadi berdiri di samping Hyesun mulai angkat bicara.

“Entahlah…” jawab Hyesun lemah.

“Kau bisa tinggal dirumahku kalau kau mau, aku sudah bicara pada orang tuaku dan mereka mau menerima kehadiranmu jika kau tidak keberatan mereka menjagamu sementara aku kuliah…”

“Tidak, aku tidak mau merepotkan keluargamu. Keluarga Lau dan dirimu sudah terlalu baik padaku, aku tak mau kalau…” Hyesun merasakan tenggorokannya tercekat, dia harus menghindari semua yang mungkin keluarga Choi lakukan pada keluarga Henry jika mereka tahu dirinya dibantu oleh keluarga Henry.

“Kau mencemaskan kami? Tenanglah, kami memang tak sekaya keluargamu di Korea tapi kami jamin kau aman jika kau mau ikut ke China.”

“Tidak, aku akan menangani ini sendirian. Aku bisa!” kata Hyesun sambil terus meyakinkan Henry. Dia tidak boleh melibatkan siapapun kedalam masalahnya, kejadian yang menimpa Donghae merupakan pukulan telak baginya bahwa dia telah salah memilih musuh. Dan kalau setelah ini keluarga Choi belum puas membuat perhitungan dengannya maka dia tidak bisa melibatkan Henry. Pemuda itu terlalu baik untuk terseret pusaran masalahnya. “Carilah gadis lain Henry, kau pantas bahagia. Aku berterima kasih atas kebaikanmu selama ini.”

“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu!”

“Tolong Henry…” kata-kata Hyesun terputus saat ia menyadari beberapa meter di depan mereka ada serombongan orang yang disertai body guard berbaju hitam-hitam yang mengawal mereka. Keluarga Choi!

Ibu, Ayah, Kakaknya Siwon, Sepupunya Hyunhee dan seorang gadis muda mungkin seusia dirinya yang dia baru lihat saat ini. Tapi dari dandanannya Hyesun seakan tidak asing, entahlah. Dia hanya merasa dandanan gadis itu mirip dengan gaya berpakaiannya saat dia masih tinggal di rumah keluarga Choi, bahkan potongan rambutnya juga mirip.

Ahjuma, Ahjussi, Hyung, Hyunhee, annyeonghaseyo!” kata Henry sopan sambil membungkukan badannya sementara Hyesun menatap sinis kedatangan rombongan keluarga Choi itu.

“Henry, sedang apa kau disini? Menghabiskan waktumu untuk hal yang tak berguna, sebaiknya kau kuliah saja yang benar. Aku khawatir dengan kelangsungan bisinis keluarga Lau dikemudian hari.” Kata Nyonya Choi yang membenarkan posisi kacamata hitamnya.

“Lama tidak bertemu Hyesun…” kata Siwon pada adiknya. Hyesun hanya tersenyum kecut, dia yakin kakaknya terlibat dalam mengintimidasi direktur perusahaan tempat Donghae bekerja, karena selama ini kakaknya itu memang menjadi kaki-tangan orang tuanya yang paling setia sementara ayah atau ibunya hanya tinggal memberi perintah sambil menikmati wine mahal mereka di private island bersama kolega-kolega bisnis mereka.

Hyesun beralih pada Hyunhee, gadis baik sepertinya tidak pantas berada diantara rombongan iblis-iblis itu. Dia harusnya terlahir di keluarga Park, Cho, Lee atau manapun tapi dia sama bernasib buruk seperti Hyesun, terjebak dalam keluarga paling mematikan di dunia. Keluarga Choi. Hanya bedanya Hyesun telah merasakan akibat dari perbuatannya menentang keluarga itu sedang Hyunhee masih nyaman hidup ditengah-tengah mereka. Paling tidak Hyunhee tidak perlu merasakan kepahitan yang Hyesun rasakan.

Hyesun menatap ayahnya sebentar, kemudian dia menggeleng. Ayah dan Ibunya benar-benar keterlaluan. Bagaimana mungkin orang tua bisa membuat hidup anak kandungnya sendiri menjadi berantakan.

“Aku kemari ingin mengenalkan seseorang pada kalian,” gadis yang tidak dikenal Hyesun maupun Henry itu maju, tersenyum pada keduanya.

“Dia anak kami, Choi Hyesun! Choi Hyesun yang baru, dia akan secara resmi diperkenalkan sebagai anak gadis keluarga Choi. Dia penurut, kami menjanjikan hidup mewah padanya asal dia mau menuruti semua kata-kata kami dan dia setuju. Jadi kami kesini hanya untuk meminta Lee Hyesun menandatangani berkas bahwa dia resmi dicoret dari keluarga Choi dan kehilangan haknya atas semuanya, sebut saja kontrak pemutusan hubungan keluarga!” Hyesun dan Henry terpaku ditempatnya, mereka ternyata selama ini tumbuh dilingkungan keluarga iblis. Entah sebutan apa yang cocok untuk keluarga macam ini.

Annyeonghaseyo Choi Hyesun imnida.” Kata gadis itu lalu tersenyum, senyum yang penuh kepalsuan.

“Kalian orang sibuk bukan, karena berkas tidak penting seperti itu kalian jauh-jauh datang kemari? Heh, aku merasa sangat terhormat!” kata Hyesun ketus. Dia melirik ibunya dengan tajam. Dia merasa sangat menyesal pernah mengagumi sosok ibunya, sekarang dia baru sadar bahwa wanita angkuh dihadapannya tak lebih dari iblis betina,ular berbisa.

Pardon, maaf kalau kau jadi berpikiran seperti itu tapi kami kemari hanya ingin melihat pria malang yang harus mati karena keegoisan seseorang. Ini cambuk bagi keluarga Choi yang lain agar mereka tidak menghianati keluarganya!” Hyesun melirik Hyunhee, gadis itu menggigil ketakutan. Dia tahu bahwa ucapan orang tua Hyesun itu ditujukan baginya.

“Baiklah, kami akan meninggalkan berkas ini disini, dua hari lagi akan ada orang yang mengambilnya.” Kata Nyonya Choi sambil memberi kode pada salah satu body guard agar menyerahkan berkas yang dimaksud pada Hyesun.

“Aku punya satu nasehat untukmu,” Ibu Hyesun melirik putrinya sebentar sebelum mereka meninggalkan kompleks pemakaman itu. “Do not start the game if you already know you’re eventually going to lose!” Wanita paruh baya itu tersenyum tipis, membenarkan posisi kacamatanya dengan tangan berbalut kaos tangan hitam lalu kembali berjalan untuk meninggalkan kompleks pemakaman diikuti keluarga Choi yang lain dan bodyguard mereka.

*

***

*

Aku berpikir, seandainya saat itu aku tidak lari dari pesta pertunanganku dengan Henry apa ada akhir yang berbeda untuk kami semua?

Yah, mungkin aku bisa bahagia karena Henry ternyata mencintaiku…

Dan mungkin disudut bumi yang lain Donghae masih hidup, bahagia dengan seorang wanita yang mencintainya.

Keegoisanku untuk bersama dengan seorang yang kucintai membuat semua orang harus menderita.

Anakku…

Anakku harus kehilangan ayahnya bahkan sekalipun, dia belum sempat bertemu dengan ayahnya. Semuanya salahku, aku melanjutkan hidupku dengan penyesalan besar atas semua keegoisanku di masa lalu…

Maafkan aku Lee Donghae, kau telah menjadi korban dari keegoisanku.

Aku merasa tidak pantas untuk berkata aku mencintaimu…

Tapi aku harap kau mau menepati janjimu untuk selalu menjagaku dan anak kita, aku tidak bisa melihatmu bukan berarti aku tak tahu bahwa dari atas sana kau menjaga kami. Terima kasih atas semua kebahagiaan yang kau berikan. Hiduplah disana dengan baik, kami mencintaimu.

 

PS : Donghae junior memiliki wajah tampan seperti ayahnya. Dia harus kuberi nama apa? Kata Henry dia harus memiliki namamu, apa aku boleh memberikan namamu padanya?

***

END

***